BAB I
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
A.
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki
peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya
sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam
upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang
bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah).
Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan
penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status
sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan
sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir
selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol
maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau
tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal
ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik
yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam
peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari
keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan
institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan
membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik
perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita
bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara
terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas.
Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah,
kegiatan partai-partai politik, perilaku
aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan,
kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan
pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan
menentukan keputusan nasional yang menyangkut
pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
B.
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem
nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan
para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung
membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem
itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju
tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan,
bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan
simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan
peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa
pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih
memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik dari
nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos.
Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut
memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama
menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau
nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis,
terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut
masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup
yang berhubungan dengan
masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma,
yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang
lain dalam pergaulan masyarakat. Pola
kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap
mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas
kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya
membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi
politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual
ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap
masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan
yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik
hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara
keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu
politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi
konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji
lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar,
sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini
merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku
individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para
anggota suatu sistem politik.
b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu
sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang
menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu
susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat
yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu
dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik
beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut:
Pertama : bahwa konsep
budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa
tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual
seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan.
Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang
bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah
sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah
sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan
dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya
politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang
terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik.
Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan
melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik,
fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal
orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif,
eksekutif dan sebagainya.
Ketiga
: budaya
politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen
budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini
berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi
perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya
sistem politik yang ideal.
1. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan
dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini
menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan
psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik)
dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri
masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari
budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan
orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond
dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan
Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik
mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa
pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala
kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif
: yaitu perasaan terhadap sistem
politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat
tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan
kriteria dengan informasi dan perasaan.
C.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1.
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem
ekonomi dan teknologi
yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi
ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat
”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan
tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang
sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi
selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada
masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang
mana selalu membuka pintu untuk bekerja
sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat
bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan
menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama.
Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap
tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai
sikap mental yang absolut memiliki
nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan,
bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak
atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif
Struktur mental yang bersifat
akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis
terhadap diri
sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa
kini.
Tipe absolut dari budaya politik
sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan
baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan
dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat
perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1.
Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam
budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi
politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap
sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini
terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang
berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan
budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture),
yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor
kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture),
yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant political
culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik
sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak
menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari
ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di
dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a. Frekuensi orientasi terhadap
sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output,
dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus
dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan
alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan
oleh sistem politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari
sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung
dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik
berada pada jenjang sangat minim.
f. Parokialisme dalam sistem
politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada
kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a. Terdapat frekuensi orientasi
politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek
output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input
secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati
nol.
b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c. Hubungannya terhadap sistem
plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial
merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak
terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a. Frekuensi orientasi politik
sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat
cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif
(aspek input dan output sistem politik)
c. Anggota masyarakat partisipatif
terhadap obyek politik
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya
politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan
terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan
diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan
yang tidak fair.
Budaya politik partisipan
merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan
terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan
oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara
politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa
memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh
karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan
mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara
berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena
adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam
konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara
politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari
budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki
pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem
politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap
mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik
negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan
merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang
dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga
negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga
memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga
sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar
terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik
yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa
mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan
dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem
politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi
dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang
membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga
mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan
politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi
politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi
dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan
perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam
masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada
satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau
subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe
tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam
tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial-
subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the
parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau
bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan
politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
|
||
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini cukup banyak
aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik
dan kehadiran pemberian suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan
partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada,
tetapi seba-gian besar jumlah
rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem ini hanya terdapat
sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam
peme-rintahan
|
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya
politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang
seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam
pembangunan di segala bidang. Dari sudut
penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi
tidak diharapkan, apalagi kritik.
Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada
pula elite yang menyadari inisiatif rakyat
yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan
pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat
dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama
politik, yaitu politik dikembangkan
berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota
masyarakat. Budaya tersebut merupakan
usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi
politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi
politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat.
Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau
menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite
politik.
D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari
fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga
baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan
sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan
orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat
ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga
ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman
serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha
saling mempengaruhi di antara kepribadian
individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu
membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi,
sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini
tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini
mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi.
Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada
keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu
disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi.
Akan tetapi, apabila legitimasi itu
dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin
yang dihasilkan stagnasi
1. Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan mengenai
sosialisasi politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama
halnya dengan pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan
seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada
umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan
dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.
- David F. Aberle, dalam “Culture
and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi
sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu
keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan
sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau
yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan
manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
- Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana
sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk,
dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
- Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan
mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah
laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di
dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai
dengan standar-standar dari kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu
pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang
tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara
baru dan mereka yang menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan
dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara
bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed
disebut dengan transmisi kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana
seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar
untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami
dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik
yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan
sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal
tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari
pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang
berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang
berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi,
nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana
berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media
massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai
banyak kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi
politik, sebagai berikut.
- Sosialisasi secara
fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/
pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum
hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang
luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi,
motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu
dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling
penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan
prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit
maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael
Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan
definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan
proses pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji
hubungan antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum
fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan
sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik
itu tidak mampu memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan
perubahan sosial; menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua
variabel penting, dan tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah
dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa
yang diperoleh. Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian
dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian
individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok
individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan,
yang mencakup tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang
diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan
bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa
mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial tertentu;
sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan
mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati
menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa terlalu
ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi,
merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar,
tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan
sampai batas kecil tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya
cenderung mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott
menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi
dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua kita, dan
sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang tampak di depan
mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita menyadari akan masa
lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu
sebagian bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah
tidak realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh
pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman
tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi
politik adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh
pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.
Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya,
sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan
pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada
stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan
pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan
sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin
saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis
terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
2. Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik
diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika
Serikat, belajar politik
dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik
mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan
kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu
mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan
rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera
nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh
tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat
penting. Menurut Easton dan Hess,
anak-anak mempunyai gambaran
yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
- Pengenalan otoritas
melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
- Perkembangan pembedaan
antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
- Pengenalan
mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan
suara (pemilu).
- Perkembangan
pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam
aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu
penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai
generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu
adalah sebagai berikut :
- Tradisi; terutama
agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
- Prestasi; ketekunan,
pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
- Pribadi;
kejujuran,
ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
- Penyesuaian
diri; bergaul
dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan
ketentraman.
- Intelektual;
belajar
dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik;
sikap-sikap,
nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan
orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana
dalam sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik
yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari
keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education
(pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan
berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai
politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh
pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai
politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat
memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik
tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik
maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan
“image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari
masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses
sosialisasi terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah
menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan
kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi
dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama
dan ditandai ciri karakteristik oleh
permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang
sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.
Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka
masing-masing.
4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat
berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal
ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk
mempengaruhi maupun untuk mempermudah
mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki,
tidak hanya secara material, tetapi
juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine,
terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada
masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
- Pertumbuhan
penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk
"memodernisasi" keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
- Sering
terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara
jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai
tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi
dini dari anak.
- Adalah
mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan
nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh
peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan
pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah
ini.
5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang
bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan
sifat dari pemerintahan dan derajat serta
sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan,
semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam
satu pemerintahan non totaliter, akan
semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin
totaliter sifat perubahan politik,
semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang
nasional (cross-national)
mengenai
kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima
negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,
mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh
penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik
yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat
mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai pada
satu taraf tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan
orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa
hormat yang lebih besar
terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap
yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap
partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu
faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi,
sejauh mana suatu
sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari
sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika
Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA,
tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan
suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara
emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes
(nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman
si individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan
komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu
masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi
politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat
yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas
komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi
sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha
mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan
terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang
dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G.
A. Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi
politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti
pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada
masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola
sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur
dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan
tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang
beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan
proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik
yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi
(pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem
politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga
mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan
mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap sistem, dan output
otorotatif-nya.
Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes)
dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
|
Sosialisasi Politik Laten
|
Berlangsung dalam bentuk transmisi informasi,
nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output sistem politik.
|
Dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai
atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang
lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input dan
output sistem politik yang analog (adanya persamaan).
|
Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti
Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur
masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota maupun di
desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa (radio, surat
kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh
struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi yang
menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini
memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara
kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari
kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti
Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para
elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus
melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan
pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok
masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif
homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural
sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap para elite politik
dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan
konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.
E. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
1. Pengertian Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas
dari partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya
merupakan bagian dari budaya politik, karena keberadaan struktur-struktur
politik di dalam masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan,
kelompok penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu
indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).
Bagi sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan
rakyat dalam proses politik, bukan sekedar pada tataran formulasi bagi
keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik,
tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan
mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan
negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron
Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih
luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
a.
Modernisasi dalam segala bidang
kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam
kekuasaan politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah
siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi
penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c.
Pengaruh kaum intelektual dan
kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke
bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi
yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika
timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi
perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan
membantu memperluas hak pilih rakyat.
e.
Keterlibatan pemerintah yang
meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup
aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang
terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan
politik.
2. Konsep Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep
partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang
partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi
begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)
dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi
politik terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada
umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud
dengan konsep partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya
? bagaimana bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada
tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini
merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan tentang
konsep partisipasi politik.
Hal pertama yang harus dijawab berkenaan dengan
kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus
berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep partisipasi
politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana
|
Konsep
|
Indikator
|
Kevin R.
Hardwick
|
Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara
berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan
kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu
mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
|
· Terdapat interaksi antara warga negara dengan
pemerintah
· Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
|
Miriam
Budiardjo
|
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih
pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah (public policy).
|
· Berupa kegiatan individu atau kelompok
· Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik,
memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.
|
Ramlan
Surbakti
|
Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam
menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak
mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik.
|
· Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik
· Dilakukan oleh warga negara biasa
|
Michael Rush
dan Philip Althoft
|
Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada
bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
|
· Berwujud keterlibatan individu dalam sistem
politik
· Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi
|
Huntington
dan Nelson
|
Partisipasi politik ... kegiatan warga negara preman (private citizen)
yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
|
· Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan
· Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik
· Dilakukan oleh warga negara preman (biasa)
|
Herbert
McClosky
|
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan
kebijakan umum.
|
· Berupa kegiatan-kegiatan sukarela
· Dilakukan oleh warga negara
· Warga negara terlibat dalam proses-proses politik
|
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual
partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut,
secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan
termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau
tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh
warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup
kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara
biasa.
0 komentar:
Posting Komentar